Oleh Ekos Koswara*
P
|
eradaban
kehidupan dewasa ini di alam modern atau era millenium begitu sangat
mencemaskan dan kian memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan adanya pergeseran
nilai hidup telah mengalami distorsi yang hebat akibat kuatnya pengaruh
paham-paham materialism. Etika atau norma-norma hukum sudah tergadai dan
tersandra oleh kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialis. Sehingga
nilai-nilai illahiyah (spiritual) tampak
telah kehilangan makna dalam realitas kehidupan sosial akibat kuatnya
kepentingan duniawi yang sesaat. Tak hanya itu pandangan hidup barat tampak
begitu trend ditengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang ditandai dengan
gaya hidup dan sikap yang meniru (imitasi). Hal inilah yang tidak banyak
disadari oleh kita atas dibalik pesatnya kemajuan teknologi itu sebagai bentuk nyata upaya penggeseran terhadap
nilai-nilai spiritual.
Kemewahan
kehidupan sekarang ini yang ditawarkan sangat menggiurkan hasrat hewani.
Sekilas terkesan sebagai hadiah dari Tuhan atas semua kebaikan atau hasil kerja
keras yang pernah kita lakukan. Maka disinilah diperlukan kejernihan dan
kebeningan hati dan pikiran dalam menilai dan memahami semua peristiwa hidup
yang sangat varian dialami oleh manusia sehingga membuahkan kebenaran hakiki.
Roda kehidupan manusia memang terus berputar seiring perjalanan alam semesta
ini pada garis edarnya. Ketika terpeleset sedit dari garis edar itu, bisa
dibayangkan bagaimana akibatnya bagi alam ini.
Begitupun
dengan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari hukum Tuhan. Siapapun dia, setinggi apapun jabatan dia di
dunia ini atau apapun jenis pekerjaannya Tuhan tidak pernah melihat itu,
kecuali keikhlasanya. Siapapun yang melanggar apalagi menentang hokum Tuhan
jelas akan mendapat kosekuensinya. Boleh jadi apa yang didapatkannya tidak
dengan cara yang benar sehingga merugikan hak orang lain. Maka disinilah
kehidupan manusia itu tidak bebas, ia terikat dengan system Tuhan dan hak orang
lain. Hanya saja persoalannya adalah bagaimana kita sebagai manusia ikhlas atas
apa yang Tuhan tetapkan. Sebab Tuhanlah tujuan kehidupan manusia yang sebenarnya.
Islam
sebagai ajaran penyempurna terhadap ajaran sebelumnya memberikan
pandangan-pandangan kehidupan yang universal dan menjamin keselamatan hidup
dunia dan akhirat. Untuk menuju keselamatan hidup yang hakiki, manusia dituntut
berpegang pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran islam secara utuh dan
benar. Tentunya dalam menjalankannya akan terasa berat dan beresiko jika tidak
didasari keimanan dan kepasrahan total dengan dilandasi hati dan pikiran yang
bersih (shafa). Sebab itu menjalani ajaran Islam akan terasa kehilangan
maknanya jika hati dan pikiran masih terkontaminasi paham materialism yang
dapat menghijab hidayah Tuhan. Maka disinilah hamper semua ajaran sufistik atau tasawuf menekankan pentingnya kebersihan
dan kejernihan hati, sehingga dengan begitu akan melihat kehidupan dengan
cahaya illahi.
Nilai-nilai
sufistik pada dasarnya merupakan proses pembersihan hati (qolb) dari segala
perkara yang dapat mengotorinya. Dalam
realitas kehidupan, nilai sufistik hakikatnya merupakan penerapan
nilai-nilai moral Islam sebagai fondasi.
Sebab kenyataan hidup yang penuh dengan intrik, misteri, hujatan, pujian,
godaan ataupun kerikil lainnya yang hakikatnya merupakan pemberian Tuhan
sejatinya dimaknai untuk menguji iman kita. Seseorang yang tengah mengemban jabatan
atau sedang menjalankan pekerjaan apapun selayaknya dilihat sebagai amanah yang
diberikan Tuhan
Kesadaran
akan pentingnya kembali pada nilai-nilai illahiyah
dalam praktek kehidupan sehari-hari merupakan prinsip dasar yang sejatinya
dimiliki dalam hati manusia. Sebab hakikatnya manusia adalah wakil Tuhan di
bumi untuk mengimplementasikan sifat-sifatNya. Dimanapun manusia berada jika
menginginkan kebahagian yang hakiki tidak boleh menyandarkan dirinya pada
kebendaan atau materi. Dunia modernism yang ditandai pengagungan pada
pengetahuan dan teknologi telah gagal secara batiniah tercapainya kebahagian
namun justru telah melahirkan kekawatiran dan kegelisahan baru dikalangan
masyarakat. Dalam hal ini nilai-nilai agama telah dihilangkan secara sadar dan
dianggap sebagai penghalang kemajuan.
Ditengah-tengah
kemajuan yang sangat pesat di alam post-modernisme atau millennium ketiga ini dituntut
kejernihan hati dan pikiran dalam menghadapinya dengan mendasari pada
nilai-nilai ajaran Islam ataupun agama lainnya. Menurut paham Islam esoteris, Islam
sejatinya dipahami lebih dari sekadar symbol-simbol syariat, tetapi lebih
tinggi dan mendalam dari itu yang bersifat batiniyah. Dalam perpektif ajaran
Syekh Siti Jenar, menurut Budi Munawar Rahman, bahwa manusia terdiri dari tiga
unsure tingkatan yaitu jasmani, nafsani dan rohani. Hampir semua ajaran
kesufian menganggap jasmani tepatnya keterikatan pada jasmani dinilai sebagai
penghalang dalam mencapai tingkatan yang lebih tinggi (A. Chodjim. 2002)
Sebab
itulah keterikatan pada jasmani yang berlebihan itulah, manusia melupakan akan
nilai-nilai hidup yang dapat membahagiakannya. Dalam realitasnya kita
senantiasa menyaksikan bagaimana manusia begitu serakahnya memuaskan nafsu
dunianya, namun terlihat ada semacam kegelisahan-kegelisahan, meski secara
kasat mata ia bergelimpangan harta. Sebab itulah Menurut, Syeikh Ibnu
Athaillah, ada kalanya Allah memberi
kepadamu kekayaan (kesenangan dunia), tetapi tidak memberi kepadamu taupiq
hidayah-Nya dan ada kalanya Allah menolak tidak memberi kepadamu dari
kesenangan dunia dan kemewahannya, tetapi memberimu taupiq dan hidayahNya.
Manusia
modern, menurut Sayyed Husein Nasr, melihat segala sesuatu hanya dari sudut
pandang pinggiran eksistensinya, tidak pada pusat spiritual dirinya, sehingga
ia lupa siapa dirinya. Karena itu dunia modernism tidak memiliki dimensi
transenden, sehingga peradaban yang dibangun terasa hampa karena tidak
menyertakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia yaitu dimensi spiritual. Kita
lihat bagaimana terjadinya krisis moral yang belakangan ini begitu ramai
dibicarakan sehingga melahirkan berbagai macam kejahatan kemanusiaan seperti
maraknya kasus korupsi, bunuh diri, pembunuhan, penyelewengan hukum dan penghianatan
jabatan. Kondisi ini jelas sangat
memprihatinkan ditengah gemerlapnya fatamorgana surge duniawi tapi dangkal dan
gersang secara spiritual. Dan sayangnya lagi pencarian spiritual lebih sedikit
diorientasikan pada tercapainya cahaya ilahi namun lebih sekadar simbolik.
Kesenjangan
social antara si kaya dan si miskin begitu kentara seolah jadi tontonan yang
menggelikan. Tentunya hal ini merupakan tanggungjawab orang-orang yang
diberikan keberlebihan harta untuk saling berbagai dengan mengembangkan sikap
filantrofinya (kedermawanan). Menurut Al
Ghazali dalam Kitab Minhazul Abidin,
menilai bahwa kehidupan sekarang sudah payah dan manusia dalam posisi lemah
sehingga urusan agama menjadi mundur karena lebih disibukan urusan duniawi.
Sebab itulah peran agama sangat vital dalam kehidupan manusia untuk memberikan
bimbingan dan pedoman demi keberlangsungan hidup yang hakiki tidak semata pada
kepentingan duniawi tetapi berorientasi pada akhirat (eskatologi).
Dalam prosesnya jelas agama tidak boleh
sekadar dipahami secara formal dan memusatkan pada symbol tetapi lebih dalam
dari itu untuk meraih kehidupan yang bermakna dengan kesucian hati (qolbun
salim) dan kejernihan fikiran. Dimensi spiritual inilah yang terletak pada hati
sebagi titik focus dalam dunia sufistik (tasawuf) untuk memberikan pencerahan
hidup terhadap lingkungan sekitar. Setiap
orang, siapapun dia bisa melakukannya ketika ajaran Islam tidak sebatas pada
teks dan symbol agama serta tidak mengikatkan dirinya pada sandaran materi.
Artinya selama ia terikat pada sesuatu yang sifatnya kebendaan akan cukup sulit
dan terhalang pada tercapainya kesucian hati.
Syaikh Abul
Qasim al Junaidi bin Muhammad al Khazzas al Nawandhi mengatakan, tasawuf ialah
hendaknya keadaanmu beserta Allah tanpa adanya perantara dan penyerahan diri
kepada Allah dan bukan untuk tujuan lain. Sebab itu tasawuf dimaknai sebagai proses
mensucikan diri dari hubungan dengan mahluk-mahluk lainnya, meninggalkan sifat
alamiah, menekankan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani,
mengambil sifat ruh dan mengikat diri pada ilmu-ilmu hakikat.
Dalam
konteks sekarang, bukan bararti seorang sufi harus meninggalkan kehidupan dunia
lalu menghindari hubungan dengan realitas social. Namun sejatinya ia hadir
memberikan penyegaran dan pencerahan akan nilai- nilai spiritual disela gersang
dan tandusnya hati manusia akibat terlena urusan duniawi. Kerena itu meminjam
istilah Fazlur Rahman yaitu lahirnya Neo-sufisme lebih menekankan manusia pada aspek rekonstruksi moral sosial
masyarakat dan merupakan
terapi yang efektif untuk membuat orang lebih manusiawi pula. Menjalani sufisme
bukan berarti meninggalkan dunia, justru dituntut meletakkan nilai yang tinggi pada dunia dan
memandang dunia sebagai media meraih spiritualitas yang sempurna. (pustaka
Mizan, 2010)
Dengan
semaraknya kajian-kajian Islam baik melalui media televisi, radio ataupun
secara langung mengikuti pengajian di mejelis-majelis ta’lim sekiranya dapat
membangkitkan akan vitalnya nilai spiritual ditengah kehidupan era millennium
atau post-mordenism ini. Tentunya dengan hal itu dapat melahirkan metode-metode
baru yang menyegarkan dalam memahami ajaran Islam seperti metode ESQ yang
digagas Ary Ginanjar, Manajemen Qolbu yang digagas Abdullah Gymnastiar, juga
Majelis Dzikirnya Arifin Ilham dan Indahnya Sodaqah yang dibumikan Yusup
Mansur. Ataupun kelompok-kelompok tareqat sebagai jalan menuju pencapaian
spiritual sempurna. Setidaknya hal itu menunjukan pada kita bahwa nilai-nilai
spiritual jauh lebih penting dari apapun untuk membawa umat manusia pada
keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki.
*alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung, tingal di Garut